
Jakarta (21/07) — Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jakarta II, Hidayat Nur Wahid, saat melaksanakan reses DPR RI secara virtual karena faktor covid-19, tapi ternyata antusiasme dan efektifitasnya tidak kalah bila dibanding dengan bertemu langsung dengan Tokoh Masyarakat dan Warga di Dapil.
Dalam kesempatan reses itu, HNW memperoleh banyak pertanyaan dari warga dan para tokoh masyarakat dari Pesanggrahan, Jakarta Selatan, seputar Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dan RUU BPIP, karena mereka menilai RUU tsb banyak memuat ketentuan yang meresahkan, kontroversial, dan karenanya menjadi perhatian Rakyat banyak.
Beberapa pertanyaan tersebut, diantaranya, adalah sikap partai Islam di parlemen sejak awal terkait tidak masuknya TAP MPRS XXV/1966 yang melarang Partai Komunis Indonesia (PKI) ke dalam pertimbangan RUU HIP, dan adanya wacana untuk mengubah RUU HIP menjadi RUU BPIP, hingga kehadiran Prabowo Subianto dalam konferensi pers mengubah RUU HIP menjadi RUU BPIP.
Salah seorang warga, Dadang Sudarno mempertanyakan mengapa yang terdengar hanya FPKS yang mengusulkan agar TAP MPRS Larangan PKI itu untuk masuk ke RUU HIP.
“Padahal di parlemen ada beberapa Partai Islam, dan bagaimana peluang ke depan ?” tanyanya.
Hidayat Nur Wahid menjelaskan bahwa sejak awal memang Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) mempertanyakan secara tegas mengapa TAP MPRS no XXV/1966 tentang pelarangan PKI dan larangan penyebaran ajaran Komunisme tidak dimasukkan ke dalam RUU HIP.
Padahal, lanjutnya, TAP MPRS itu masih berlaku, dan dibanding dengan TAP-TAP MPR yang lain, lebih diperlukan untuk membentengi agar ideologi Pancasila tidak dikudeta lagi oleh ideologi yg bertentangan dengan Pancasila yaitu komunisme.
Ia menambahkan FPKS juga mengkritik dan mengusulkan agar sesuai dengan Pancasila yang final disahkan pada 18 Agustus 1945, maka TriSila dan Ekasila harus dihapus dari RUU HIP.
“Tapi mayoritas fraksi tidak mengindahkan kritik dan saran FPKS tersebut. Sehingga wajar bila FPKS secara formal memutuskan untuk tidak ikut menandatangani pengusulan RUU HIP ke rapat paripurna DPR,” ujarnya.
Hidayat mengungkapkan sebenarnya bukan hanya Partai Islam PKS yang menolak, ada juga Partai Demokrat yang menolak RUU HIP. Sementara PPP dan PAN juga mengusulkan agar TAP MPRS itu dimasukkan ke dalam RUU HIP.
“Namun, dalam dokumen resmi di DPR, yang menolak tanda tangan pengusulan RUU HIP ke rapat paripurna DPR faktanya memang hanyalah FPKS dan Fraksi Partai Demokrat,” ujarnya saat berdialog dengan konstituen secara virtual di Jakarta, Minggu (20/07/2020).
Kemudian, lanjut Hidayat, setelah demonstrasi besar-besaran ANAK (Aliansi Nasional Anti Komunis) NKRI di depan gedung DPRRI, posisi politik saat ini adalah seluruh fraksi di DPR RI telah setuju agar mengakomodasi dan memasukkan TAP MPRS tersebut ke dalam konsideran Mengingat dalam RUU HIP dan untuk menghapus Trisila dan Ekasila dari RUU HIP.
“Walaupun itu masih dalam pernyataan lisan atau verbal, belum menjadi keputusan formal mayoritas fraksi,” ujarnya.
Salah satu buktinya adalah pada Rapat di Badan Legislasi DPR bersama Pemerintah dan DPD, kembali hanya FPKS yang melanjutkan usulannya dan memperjuangkan amanat Rakyat agar RUU HIP dihentikan dan dikeluarkan dari Prolegnas, sehingga status final RUU HIP tetap perlu terus dikawal, baik dari dalam DPR maupun dari luar DPR.
“Soal penolakan RUU HIP itu terbukti bukan hanya menjadi isu dari Partai Islam, tetapi juga menjadi concern dari Partai Nasionalis, dan bukan hanya dari Ormas-Ormas Islam tapi juga Kristiani, Hindu, Budha dan bahkan Ormas non keAgamaan seperti Pemuda Pancasila dan Legiun Veteran RI. Jadi ini bukan isu kebangkitan kanan, tapi kebangkitan nasional,” ujarnya.