Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Djoko Tjandra dan Maria Pauline Lumowa, Quo Vadis Penegakan Hukum di Indonesia?

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Oleh: Adang Daradjatun (Anggota Komisi III DPR RI / Wakapolri 2004 – 2006)

 

Hukum di Indonesia ini sudah tertulis di atas kertas, bahwa negara kita adalah negara hukum. Hal ini tertera dalam Pasal 1 ayat (3)  Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, mengandung pengertian bahwa segala tatanan kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara adalah didasarkan atas hukum. Tidak ada yang membantah itu, termasuk para akademisi hukum.

Namun, publik kembali dipertontonkan sebuah peristiwa yang mencoreng nama Indonesia sebagai negara hukum. Djoko Tjandra, seorang buronan dan terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, tiba-tiba secara mengejutkan sudah berada di Indonesia.

Hal ini berdasarkan keterangan Jaksa Agung ST Burhanuddain saat rapat dengan Komisi III DPR RI 29 Juni 2020. Padahal selaku terpidana yang vonis terhadapnya sudah in cracht, bahkan menjadi buronan luar negeri yang diincar Interpol, Djoko sudah seharusnya ditangkap dan dimasukkan ke balik jeruji. Sayangnya, ini tidak dilakukan.

Djoko Tjandra dan Penegak Hukum

Penjelasan dari institusi negara sama sekali tidak memuaskan. Kemenkumham yang membawahi Imigrasi, mengaku tidak tahu kalau Djoko sudah berada di Indonesia. Alasannya, nama Djoko sebagai DPO (Daftar Pencarian Orang) tidak ada di sistem mereka.

Kejaksaan mengaku bahwa intelijen mereka gagal mendeteksi keberadaan Djoko, yang ternyata disinyalir sudah ada di Indonesia pada 8 Juni 2020 untuk mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Jakarta Selatan.

Kepolisian sendiri belum bisa menindak karena tidak ada red notice dari pihak kejaksaan.
Bahkan Djoko masih sempat untuk mengurus E-KTP di kelurahan Grogol Selatan, dan tidak terdeteksi oleh pihak Kemendagri, maupun Disdukcapil DKI.

Padahal, dia sudah terdaftar sebagai warga negara Papua Nugini, tidak seharusnya dia memiliki E-KTP. Namun, ketika pihak kelurahan dan Disdukcapil ditanya, mereka lagi-lagi mengaku tidak tahu terkait status hukum Djoko Tjandra.

Dari sini, kita bisa melihat bahwa sistem penegakan hukum negara kita gagal dan memalukan. Bayangkan saja, seorang buronan bisa mengecoh empat institusi negara yang terhormat, Kemendagri, Kemenkumham, Kepolisian dan Kejaksaan.
Catatan penting dalam penegakan Hukum
Kasus ini benar-benar merefleksikan wajah hukum yang buruk di negara kita.

Pola kepemimpinan di negara ini memperlihatkan pemangku jabatan yang tidak amanah dalam melaksanakan tugasnya. Kalau para pejabat itu amanah, mematuhi sistem dan tidak lalai, tidak mungkin buronan ini bisa lolos selama lebih dari 10 tahun sejak dia melarikan diri dari Indonesia.

Dan tidak mungkin buronan ini bisa masuk dengan mudah ke negara kita, bahkan sampai membuat e-KTP tanpa ada gangguan. Ada pihak yang sengaja tidak mematuhi sistem yang telah disepakati bersama, sehingga buronan ini masih berkeliaran dengan bebas.

Selain itu, penegakan hukum kita sama sekali kurang terorganisir dan terkoordinasi. Kita bisa melihat bagaimana pihak-pihak kementerian dan kejaksaan terlihat kebingungan untuk menjelaskan fenomena Djoko Tjandra.

Masing-masing pihak saling mengelak, mengaku tidak tahu, dan menolak bertanggung jawab. Terlebih lagi, buronan luar negeri seperti Djoko Tjandra bukanlah hal yang baru. Baru baru ini, Pelaku pembobolan Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun, Maria Pauline Lumowa, akhirnya berhasil dipulangkan (ekstradisi) ke Indonesia setelah buron selama 17 tahun.

Dulu juga pernah ada koruptor raksasa yang kabur ke Kolombia. Namun, berkat penegakan hukum yang cepat, tepat dan terkoordinasi dengan baik, buronan itu bisa ditangkap dan dipulangkan untuk disidang di Indonesia. Lalu, kenapa ini tidak terjadi pada kasus Djoko Tjandra?

Selain itu, kasus Djoko Tjandra ini memberikan efek buruk bagi kepercayaan masyarakat kepada penegak hukum. Masyarakat menjadi distrust dan akhirnya bersikap acuh terhadap hukum itu sendiri. Institusi hukum tidak lagi dihormati dan ini akan mempersulit pemerintah kedepannya dalam menegakkan hukum dan keteraturan secara adil dan profesional, karena untuk melaksanakan itu, pemerintah memerlukan kepercayaan dari masyarakat.

Pada akhirnya, sungguh benar apa yang dikatakan oleh Bung Karno, penegakan hukum hanya akan terjadi tergantung dari semangat para penyelenggara negara. Seperti apakah semangat itu? Yakni, semangat untuk menciptakan keadilan, good governance yang dilandasi oleh profesionalitas, demi terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera.