Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Bahas Omnibus Law Saat Reses, Anggota FPKS: RUU Cipta Kerja Banyak Kejanggalan!

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

 

Jakarta (05/06) — Anggota Baleg DPR RI F-PKS, Bukhori Yusuf, menganggap draft RUU Cipta Kerja terlalu umum sehingga rentan untuk mengalami penyimpangan. Salah satunya, saat menyoroti kejanggalan pada Bagian Keenam tentang Kemudahan Perizinan Berusaha Pasal 98.

Menurut Anggota Komisi VIII ini, ketentuan dalam Pasal 98 justru bersifat kontradiktif dengan gagasan utamanya, yakni Kemudahan Perizinan Berusaha.

Dalam ketentuan tersebut terdapat (8) ayat dimana ayat yang paling krusial sebenarnya terdapat di ayat (3) dan (4). Pada ayat tersebut berbunyi:

‘ayat (3) Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan perizinan tunggal yang berlaku untuk semua kegiatan usaha.’

‘(4) Perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi Perizinan Berusaha, izin edar, standar nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal’

Dalam ketentuan tersebut, Usaha Mikro dan Kecil diminta untuk melakukan pendaftaran agar memperoleh Nomor Induk Berusaha (NIB). NIB merupakan izin tunggal yang meliputi Perizinan Berusaha, Izin Edar, Standar Nasional Indonesia, dan Sertifikasi Jaminan Produk Halal.

“Niat baik Pemerintah untuk melakukan simplifikasi adalah hal yang perlu diapresiasi, akan tetapi peraturan yang diusulkan ini seolah menjadi blunder. Jika dicermati lebih lanjut, substansi sejumlah ayat dalam pasal 98 tersebut justru menegasikan gagasan untuk memberi kemudahan berusaha bagi Usaha Mikro dan Kecil. Artinya, sejumlah ketentuan dalam ayat-ayat tersebut malah memperumit, khususnya bagi Usaha Mikro dan Kecil.” cetus Bukhori saat rapat kerja bersama Pemerintah dalam pembahasan lanjutan RUU Cipta Kerja di ruang rapat Baleg DPR RI, Kamis (04/06/2020).

Seharusnya, sambungnya, Pemerintah membantu usaha mikro dan kecil untuk memperoleh sertifikat halal dengan menanggung seluruh biaya sertifikasi halal serta tidak membuat kebijakan yang bertentangan dengan UU No 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal. “Sebab, kehalalan produk tidak boleh dinyatakan sepihak oleh produsen tetapi harus diperiksa oleh lembaga yang berwenang,” imbuh Bukhori.

Selain itu, politis PKS ini juga berpandangan agar regulator terkait sertifikasi halal yang sempit bisa dipecah (split) dalam rangka efisiensi waktu dan menekan biaya.

“Terkait regulasi selama ini, khususnya dalam hal sertifikasi halal, sejujurnya agak sentralistik. Seyogyanya, sertifikasi jaminan produk halal tidak semata-mata dikerjakan oleh MUI, tetapi dilibatkan juga pihak lain. Perlu dicatat bahwa ini bukan berarti menihilkan peran MUI, tetapi bagaimana kita memiliki operator yang varian dimana operator yang varian ini harus distandarkan dengan merujuk MUI” pungkasnya.