
Jakarta (24/02) — Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasludin, dampak buruk tata niaga produk pangan terutama hortikultura diawali dari proses rekomendasi perizinan impor yang manipulatif. Pengusaha maupun pejabat penerbitan izin mesti ditertibkan, bila perlu KPK turun tangan mengusut tuntas pelaku perusak tatanan kenegaraan kita di sektor hortikultura ini.
“Saya menengarai banyak prosedur yang dilanggar Kementerian Pertanian dalam pemberian rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) untuk komoditas bawang putih ini. Efeknya berantai mulai dari penerbitan hingga mengkormesialisasi lembaran rekomendasi izin ini”, kata Politisi PKS ini.
Menurut data yang dihimpunnya, banyak perusahaan baru yang dapat rekomendasi, tetapi tidak ikut persyaratan mutlak RIPH. Saat rapat dengar pendapat (RDP) Kementan dengan DPR, Dewan mengungkapkan banyak kejanggalan. Dia berharap pengawas hukum seperti KPK menyelidiki ini.
“Jangan sampai jual beli kuota saja. Ini hanya modal selembar persetujuan RIPH itu bisa dijual ke mana-mana. Ini membuat pangan kita enggak terkontrol. Kami ingin yang impor disaring,” kata Andi Akmal kepada wartawan.
Legislator asal Sulawesi Selatan II ini menyayangkan, saat ini pemerintah berkecenderungan pada satu perusahaan importir saja ketika mengeluarkan rekomendasi Impor produk hortikultura. Akibatnya, lanjut dia, selain menimbulkan kecemburuan dari pelaku usaha yang sama, juga menimbulkan kecurigaan. Dampak lainnya adalah adanya jual beli kuota di lapangan.
Salah satu kejanggalannya, tambah Akmal, ada satu perusahaan yang mengantongi izin impor lebih dari 11 ribu ton bawang putih. Sedangkan perusahaan-perusahaan lain, tidak sampai 500 ton.
“Ada ketimpangan berlebihan pada pemegang RIPH untuk komoditas bawang putih. Jadi kalo sekarang ketika ada masalah sedikit saja, harga komoditas sangat sensitif terhadap harga. Bukti nyatanya, kenaikan harga bawang putih yang naik hingga tiga kali lipat”, urai Akmal.
Akmal mengatakan, meskipun pemerintah saat ini perlu melakukan pemeriksaan mendalam terhadap pengajuan SPI (Surat Perizinan Impor), namun pemeriksaannya terlalu lambat. Sebagai gambaran yang terjadi saat ini, ada sekitar 100 perusahaan yang mengajukan RIPH, namun baru 13 saja yang sudah keluar rekomendasinya. Bahkan kementerian perdaganganpun sudah mengakui, bahwa saat ini baru 62.000 ton bawang putih yang lolos pengajuan Surat Perizinan Impor (SPI) dari kuota 103.000 ton yang diberikan Kementan.
“Saya meminta, pemerintah sesuai prosedur saja ketika memberikan RIPH apapun komoditasnya. Kita tidak mengetahui dampak besar yang menunggu bila pejabat bermain-main untuk sebuah regulasi. Ujung-ujungnya, masyarakat yang mendapat getah paitnya”, tutup Andi Akmal Pasluddin.