
Jakarta (29/01) — Skandal Megaproyek Jiwasraya, dalam beberapa pekan terakhir, masih menjadi perhatian dan perbincangan berbagai pihak termasuk Anggota DPR RI Anis Byarwati.
Dalam FGD yang digelar Fraksi PKS DPR, Anis mengatakan kasus Jiwasraya berpotensi untuk menanggung Kerugian Negara yang sangat besar, yaitu Rp.13,7 Triliun (Pernyataan Kejaksaan Agung). Kerugian tersebut tentu lebih besar dibanding kasus Bank Century yang nilai kerugian Rp.6,7 triliun.
“Kasus Jiwasraya ini pun bisa berpotensi menghadapi risiko gagal bayar atas transaksi investasi pembelian medium term note (MTN) PT.Hanson International (HI). (Laporan BPK No:33/AUDITAMA VII/PDTT/07/2016). Resiko Gagal Bayar Jiwasraya ini perlu ditelusuri dengan menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang, karena pembelian MTN PT. HI diindikasikan sebagai cara Jiwasraya menyelesaikan kasus pembelian MTN PT. Armidian Karyatama (AK), yang belum memiliki rating dan belum membukukan pendapatan (baru berdiri 3 tahun)”, terang Anis.
Lebih lanjut Anis menambahkan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sangat fokus dan konsen dalam membongkar segala Fraud atau penyimpangan yang terjadi hingga mengakibatkan kerugian negara yang begitu fantastis ini.
“Fraksi PKS akan memaksimalkan Hak Angket dimana DPR meminta penyelidikan atas kasus yang diduga terjadi pelanggaran terhadap UU. Pembentukan Pansus Hak Angket ini akan menyelidiki Indikasi fraud yang terorganisir (organized crime) dan pola kecurangan pada sektor keuangan yang kompleks”, pungkasnya.
“Indikasi Fraud ini tercermin dari Laporan Keuangan versi Direksi Baru Jiwasraya, bahwa Aset Jiwasraya berupa Reksadana dan Saham mengalami penurunan nilai sangat drastis dalam dua tahun terakhir. Nilai Reksadana turun Rp.12,73 triliun dan nilai Saham turun Rp.4,15 triliun. Padahal disisi lain, Kewajibannya (liabilities) semakin besar mencapai Rp.49,6 triliun”, tandas Anis.
Menurut Anis, setidaknya ada 2 UU yang diduga telah dilanggar. Yang pertama, Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, Pasal 18 ayat 2 , yaitu Tidak dilakukannya kewajiban Jiwasraya dalam menerapkan standar seleksi dan akuntabilitas, ini mengindikasikan kelemahan pengawasan Kementerian BUMN. Kedua, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dimana OJK diduga tidak menjalankan perintah untuk menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor per-asuransian.
“Kami sangat menyayangkan sikap dan tindakan yang diambil oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang terlihat lemah dan tak punya daya dalam pengawasan Jiwasraya, sehingga diduga terlibat menyebabkan kerugian negara yang sangat besar”, keluh Anis.
Berdasarkan data yang diperoleh, kata Anis, DPR mencatat sampai dengan 2019, terdapat pemegang polis dengan kategori kumpulan atau kelompok, yang jumlahnya mencapai 5,2 juta jiwa dari masyarakat menengah ke bawah.
“Ini menjadi catatan penting dan tidak boleh dibiarkan oleh Jiwasraya, apalagi yang dirugikan adalah masyarakat menengah ke bawah, yang harus menjadi perhatian Pemerintah dan harus segera dicarikan solusinya”, tutup Anis.