Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Dengar Curhat Dokter RSUD Arjawinangun, Netty Tak Kuasa Menitikan Air Mata

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

 

Cirebon (27/12) — Kisruh BPJS seakan tak usai hadirkan persoalan. Belum lagi terbukti soal jaminan BPJS untuk menutup selisih iuran kelas III PBPU dan BP yang kenaikannya ditolak DPR, sejumlah rumah sakit mengeluhkan kesulitan cash flow akibat klaim yang belum dibayar.

Fakta ini mencuat saat Netty Prasetiyani melakukan kunjungan ke RSUD Arjawinangun, Cirebon, Kamis, (26/12/2019).

Dalam kesempatan tersebut Netty diterima langsung Direktur RSUD Arjawinangun Dokter Bambang Sumardi dan sejumlah dokter serta tenaga medis lainnya.

“Saya sedih dan tak kuasa menahan air mata mendengar keluhan tenaga medis yang belum dibayarkan jasa pelayanannya karena rumah sakit kesulitan biaya operasional,” ujar Netty setelah pertemuan tersebut.

Menurut Netty, adalah kezaliman dan kesewenangan saat dokter dan perawat bekerja namun belum dibayarkan jasanya setelah keringat mereka kering.

“Jika kendalanya proses verifikasi dan validasi data, bukankah BPJS bisa cari solusi dengan menambah tenaga verifikator. Jika kendala biaya, bukankah Menkes mengatakan kewajiban PBI sudah ditunaikan? Bukankah memang menjadi kewajiban negara untuk mencari terobosan dan inovasi sumber pendanaan yang sah?”, Pungkasnya.

Netty juga menyesalkan adanya sejumlah aturan BPJS yang menyulitkan tenaga medis menjalankan fungsi profesionalnya dengan baik.

“Bayangkan, dokter spesialis dengan kompetensi bagus dan peralatan medis memadai, kadang harus memilih tindakan pelayanan yang tidak perform karena dibatasi dengan aturan covering biaya oleh BPJS.” ungkap Nettty.

Jika dilakukan di luar ketentuan, kata Netty, maka resikonya klaim akan ditolak, yang menyebabkan rumah sakit rugi.

Dengan pola managemen seperti di atas, tambah Netty, wajarlah jika muncul kesan BPJS hanya berpikir soal profit, hanya mau membayar murah pelayanan, dan tekanan kecurigaan bahwa ada banyak fraud di rumah sakit.

Netty berjanji membawa persoalan tersebut ke rapat Komisi IX pada masa persidangan berikutnya.

“Jika BPJS tidak membenahi manajemen pembayarannya, saya khawatir akan banyak rumah sakit yang tidak bisa optimal melayani pasien. Akibatnya, pasien memilih lari ke rumah sakit swasta yang memiliki modal besar dan siap menalangi pembiayaan di awal”, kata Netty.

Menurut data RSUD Arjawinangun, sebagai rumah sakit tipe B, tingkat kunjungan pasien ke poli klinik dan tingkat hunian rawat inap menurun drastis.

“Info yang saya terima, dari rerata jumlah kunjungan 11.000 – 12.000 pada 2018, menjadi 7.000 – 8.000 pada 2019. Dari 800-an tempat tidur, hanya terisi 200-an. Kemana larinya?” ujar Netty.

Data empirik lapangan ini menjadi kegundahan Netty yang mengkhawatirkan kesehatan menjadi komoditas industri yang dikuasai pemodal besar atau konglomerasi.

“Ini harus menjadi kesadaran kolektif para pegiat ekosistem kesehatan untuk menolak upaya menarik pelayanan kesehatan menjadi industri yang meminggirkan swasta dengan modal kecil bahkan rumah sakit negeri”

Menurut Netty, upaya negara menjamin kesehatan rakyat dengan menggelontorkan APBN jangan sampai hanya jadi bancakan pihak-pihak yang berorientasi mengeruk keuntungan semata.

“91 juta peserta PBI berapa nilainya? Jika diperluas hingga 110 juta, berapa totalnya? Jika 246 juta penduduk Indonesia wajib ikut BPJS dan kemudian hanya ditangkap oleh jaringan pemodal besar, apa namanya jika bukan monopoli,” tanya Netty gusar.

Oleh karena itu, Netty mengingatkan agar pengelola rumah sakit atau klinik swasta dengan permodalan kecil, juga berbenah diri.

“Menangkan persaingan dengan peningkatan kualitas layanan, bukan bersandar pada kemewahan dan kemudahan fasilitas tapi kualitas layanan dengan hati”, papar Netty.

Netty juga berharap penyedia layanan kesehatan dikelola dengan prinsip sosiopreneur.

“Rumah sakit dan klinik itu bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak. Ia harus bertumbuh dengan prinsip manajemen modern dan berdaya saing tinggi namun tetap tidak menanggalkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan”, tutup Netty.