
Jakarta (27/11) — Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi XI DPR RI dengan Jajaran Manajemen Bank BNI 46 di gedung DPR RI Jakarta Selasa, (26/11/2019), politisi Partai Keadilan Sejahtera Anis Byarwati secara khusus menyoroti tentang fraud (kecurangan) yang terjadi di BNI yang dilakukan oleh manajemen.
“Saya ingin menyoroti khusus tentang fraud di dalam manajemen BNI.” tuturnya.
Anis kemudian memaparkan kasus yang terjadi di Ambon pada bulan Oktober 2019 dimana terjadi skandal pembobolan dana nasabah senilai 58,9 milyar yang kemudian diketahui tersangka pelakunya adalah 3 kepala cabang BNI di Tual dan Masohi.
“Ini dilakukan oleh petinggi BNI sendiri, dan ini menjadi catatan saya yang pertama.” tegasnya.
Anis mengingatkan bahwa kasus ini harus menjadi peringatan bahwa system pengawasan internal BNI perlu dibenahi, karena manajemen yang seharusnya melakukan pengawasan, namun mereka sendiri yang melakukan fraud.
Dalam rapat itu Anis juga mengingatkan bahwa kasus manajemen fraud di internal BNI ternyata juga pernah terjadi di beberapa kantor cabang daerah lainnya, terkait penyaluran KUR (Kredit Usaha Rakyat).
Anis menuturkan, berdasarkan penelusuran yang dilakukannya, dia menemukan kasus yang terjadi di Garut pada tahun 2011 namun baru terungkap pada tahun 2019, yang menimpa salah satu warga Ciwalen, Garut, Atang Suparma (52 thn).
Atang secara tiba-tiba ditagih oleh lima orang penagih hutang karena belum membayar pinjaman KUR Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Bank BNI yang digulirkan tahun 2011 sebesar Rp. 389 Juta dengan jaminan tanah berupa kebun karet di kecamatan Cibalong seluas 4 Ha, dengan Perjanjian Kredit no : 2011067 PT BNI’46 tanggal 26 Juni 2011, yang ditanda tangani oleh Pengganti sementara pimpinan BNI’46 Garut.
Kuasa hukum Atang menyebutkan bahwa pada kasus kliennya ini, patut diduga adanya manipulasi data yang dilakukan oleh manajemen BNI, karena Atang tidak pernah mengajukan KUR kepada BNI dan bukan pula nasabah BNI.
Mediasi yang dilakukan dengan pihak BNI pada Agustus 2019 atas kasus ini hingga kini belum menemukan jalan keluar.
Menurut Anis, kasus ini mengisyaratkan adanya masalah dalam system pengendalian internal BNI dimana fraud dilakukan oleh manajemen internal BNI sendiri.
Anis juga mengemukakan penelusurannya yang lain dimana pada tahun 2012 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan laporan temuan pengelolaan KUR di Lubuklinggau yang diduga terkait manipulasi data.
Pencairan fasilitas KUR kepada 295 debitur dengan plafond sebesar 78 ,9 milyar diragukan kewajarannya, dimana 126 debitur diantaranya dengan total plafond sebesar 47,3 milyar terindikasi fiktif.
Hal yang sama terulang di tahun 2013 dimana BPK menemukan pemberian fasilitas KUR kepada 50 kelompok peternak sapi, 20 kelompok ayam petelur dan 60 kelompok ayam pedaging, serta 24 debitur sub kontraktor, terindikasi di rekayasa dan berpotensi merugikan BNI.
“Bagus apa yang telah dilakukan BNI dalam penyaluran KUR terutama di daerah-daerah minus, namun yang ingin saya garis bawahi adalah system pengendalian internal di kantor cabang daerah harus menjadi catatan karena seharusnya dapat meminimalisir fraud. Soal ini penting menjadi perhatian kantor pusat.” tandas Anis.
Ia menambahkan bahwa KUR merupakan program yang memberdayakan masyarakat. Ketika masyarakat dibohongi oleh pihak manajemen bank yang seharusnya menjadi penyalur dan pengawas kredit tersebut, maka perilaku itu tidak hanya merugikan citra BNI, akan tetapi juga menurunkan reputasi dan kredibilitas BNI, dan pada akhirnya akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Bank BNI.
Sebagaimana dketahui, sepanjang Januari sampai September 2019, BNI melaporkan telah menyalurkan dana KUR sebesar 14,4 trilyun rupiah setara dengan 90% dari jatah tahun ini yaitu sebesar 16 trilyun rupiah.