Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Pendapat Fraksi PKS DPR RI terhadap RUU tentang Penetapan Perpu No.2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

PENDAPAT FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN MENJADI UNDANG-UNDANG
========================================================================= 
Disampaikan oleh: 
Nomor Anggota:

Bismillahirrahmanirrahiim 
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh 

Salam Sejahtera untuk kita semua 

 

Yang kami hormati: 

  • Pimpinan dan Anggota Komisi II DPR-RI; 
  • Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Komunikasi dan Informatika;
  • Perwakilan Ormas;
  • Rekan-rekan wartawan serta hadirin yang kami muliakan. 

 

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan kasih sayang dan rahmat-Nya, kita bisa menghadiri Rapat Kerja ini sebagai bentuk tugas mulia kita dalam menjalankan amanah sebagai wakil rakyat. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, insan pilihan yang mengkhidmat kebijaksanaan dan kesalehan sosial sebagai tuntunan untuk memanusiakan manusia dalam bermasyarakat dengan berkeadilan dan kesejahteraan.

Pimpinan dan Anggota Komisi II, para Menteri serta hadirin yang kami hormati; 

Pada 10 Juli 2017, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dalam pertimbangannya, Pemerintah menilai adanya “kegentingan yang memaksa” untuk mengubah pengaturan tentang keormasan, karena maraknya pelanggaran terhadap asas dan tujuan Ormas yang didasarkan pada Pancasila dan UUDNRI 1945 yang mengancam kedaulatan nasional. Selain itu, Pemerintah beranggapan terjadi kekosongan hukum dalam UU tentang Ormas perihal penindakan terhadap Ormas yang secara terang-terangan memiliki asas dan melakukan kegiatan yang tidak sejalan dengan ideologi bangsa Indonesia dan menimbulkan kerawanan sosial di masyarakat, berupa ancaman terhadap keberagaman, tindakan penodaan terhadap suku, agama, ras, atau golongan, bahkan menjurus pada tindakan terorisme. Setelah diberlakukan, Perpu tentang Ormas ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat karena dikhawatirkan akan mengancam praktik demokrasi konstitusional di Indonesia.

Pimpinan dan Anggota Komisi II, para Menteri serta hadirin yang kami hormati; 

Berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-undang, Komisi II telah melakukan pembahasan, kajian, dan pendalaman dengan memperhatikan aspirasi dan pandangan kritis dari Ormas, kalangan masyarakat sipil, dan masyarakat luas, baik melalui kunjungan ke daerah-daerah, maupun Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Berdasarkan hasil pembahasan dan kajian yang mendalam tersebut, izinkan Fraksi PKS menyampaikan pandangan dan pendapatnya sebagai berikut:

Pertama; Fraksi PKS menilai bahwa Pemerintah seharusnya tidak perlu menerbitkan Perpu karena tidak terjadi kekosongan hukum untuk melakukan penindakan terhadap Ormas yang melanggar. Penerbitan Perpu tentang Ormas ini tidak memenuhi urgensi “Hal Ihwal Kegentingan yang Memaksa” sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUDNRI Tahun 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VII/2009. Mahkamah Konstitusi, dalam Putusannya tersebut, menerjemahkan hal ihwal kegentingan yang memaksa sehingga memerlukan Perpu, yaitu sebagai berikut: (1) adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-undang; (2) Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-undang tetapi tidak memadai; (3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas telah diatur tentang prosedur pemberian sanksi terhadap Ormas yang melakukan pelanggaran, secara persuasif sampai prosedur pembubaran Ormas secara hukum. Dengan demikian, pengaturan dalam UU tentang Ormas telah memadai sehingga saat ini tidak terjadi kekosongan hukum.

Kedua; Fraksi PKS berpandangan bahwa dalam Perpu tentang Ormas terdapat  ambiguitas yang rawan ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh pelaksana kebijakan. Selain itu, terdapat sejumlah “pasal karet” yang rentan ditafsirkan dan diberlakukan secara tidak tepat dan/atau disalahgunakan sehingga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip supremasi/kepastian hukum. Misalnya, dalam hal norma tentang larangan bagi Ormas untuk menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang (Pasal 59 Ayat (4)). Klausul “yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya” mengandung makna ambigu yang dapat disalahgunakan berdasarkan subjektivitas untuk menyatakan suatu Ormas terlibat dengan organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang.  Selain itu, penormaan dalam Pasal 59 Ayat (3) tentang larangan bagi Ormas untuk melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan, memiliki ruang penafsiran yang tidak terbatas untuk mengkategorikan sebuah ucapan atau tindakan sebagai “tindakan permusuhan” karena tidak memiliki batasan yang jelas tentang unsur-unsur tindak pidananya.

Ketiga; Fraksi PKS berpendapat bahwa dengan dihilangkannya peran pengadilan dalam pembubaran Ormas, yang diatur dalam Perpu ini, dikhawatirkan akan memunculkan otoritarianisme. Selain menghilangkan peran pengadilan dalam pembubaran Ormas, dalam Perpu ini juga disederhanakan tahapan-tahapan pembubaran Ormas yang sebelumnya diatur secara berjenjang dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Dalam Perpu ini, ketentuan Pasal 63 sampai dengan Pasal 80 UU tentang Ormas yang memuat ketentuan pembubaran Ormas harus melalui mekanisme peradilan, dihapuskan. Padahal  sebelumnya telah diatur menurut UU tentang Ormas, Pemerintah menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran Ormas berbadan hukum, dan terhadap putusan pengadilan negeri tersebut dapat diajukan upaya hukum kasasi. Dengan melibatkan proses hukum di pengadilan, maka dimungkinkan adanya pembelaan dari Ormas atas dugaan pelanggaran, yang dapat dinilai secara objektif oleh hakim. Mekanisme yang diatur dalam UU tentang Ormas tersebut sangatlah ideal dalam konteks pelaksanaan negara hukum yang demokratis karena penindakan terhadap Ormas yang melanggar, dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang persuasif.

Keempat; Fraksi PKS beranggapan bahwa Perpu tentang Ormas memuat sanksi pidana yang berpotensi disalahgunakan untuk melakukan kriminalisasi. Menurut Perpu tentang Ormas ini, sanksi pidana dalam hal penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pemberian sanksi pidana ini tentu memperberat pemidanaan dalam tindak pidana penyalahgunaan, penistaan, dan penodaan terhadap agama. Dalam Pasal 156a KUHP berdasarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, ditegaskan bahwa perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun. Pemberatan sanksi pidana yang diatur dalam Perpu tentang Ormas ini kurang tepat karena tidak konsisten dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain mengenai norma yang sama. Selain itu, ketentuan ini sangat rawan untuk dijadikan senjata oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan kriminalisasi dengan dalih penodaan terhadap agama.

Kelima, Perppu tentang Ormas bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 37. Dalam Pasal 59 Ayat 4 Huruf c Perpu tentang Ormas, Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Berdasarkan penjelasan pasal tersebut, ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila adalah yang ingin mengubah Konstitusi. Hal ini tentu tidak sejalan dengan prinsip ketatanegaraan Indonesia bahwa sejatinya UUDNRI Tahun 1945 sebagai konstitusi tertulis bangsa Indonesia bisa diubah berdasarkan ketentuan Pasal 37 UUDNRI Tahun 1945. Berdasarkan konstruksi hukum Pasal 59 Ayat 4 Huruf c Perpu tentang Ormas tersebut, maka Ormas manapun yang memberikan masukan perubahan/ amandemen Konstitusi melalui lembaga perwakilan dapat dibubarkan dan dipidanakan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan semangat demokrasi di Indonesia.

Pimpinan dan Anggota Komisi II, para Menteri, perwakilan Ormas, rekan-rekan wartawan, serta hadirin yang kami hormati dan banggakan; 

Berdasarkan pandangan di atas, dengan memohon taufik Allah SWT dan mengucap Bismillahirrahmanirrahim, kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menyatakan TIDAK SETUJU Rancangan Undang-undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, untuk ditetapkan menjadi menjadi Undang-undang.

Sikap Fraksi PKS ini diambil dengan pertimbangan dan kajian yang matang dan mendalam dengan sungguh-sungguh memperhatikan aspirasi dan pandangan kritis dari Ormas, kalangan masyarakat sipil, dan masyarakat umum yang dihimpun dari kunjungan ke daerah-daerah serta hasil Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi II, yang sebagian besar tidak setuju Perpu ini.

Sikap tidak setuju Fraksi PKS ini bukan berarti setuju dengan radikalisme atau abai terhadap ancaman pada Pancasila. Tapi justru karena kami tegas menolak radikalisme dengan merujuk secara konsekuen pada Pancasila dan UUDNRI Tahun 1945.

Fraksi PKS menilai UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas yang berlaku selama ini bisa dijadikan landasan hukum yang kuat dan memadai. Bahwa dinilai ada kekurangan, yang diperlukan hanyalah penguatan UU tersebut dan bukan dengan Perpu. Antara lain, terkait dengan waktu proses peradilan dalam memberikan sanksi terhadap Ormas yang melanggar UU yang dinilai terlalu lama, maka kami menyarankan agar UU ini segera diperbaiki dengan usulan mempercepat proses hukum sehingga tidak sampai 400 hari. Adapun, usulan perubahan UU dapat datang dari Pemerintah atau Fraksi-fraksi di DPR.

Demikian Pendapat Fraksi PKS ini kami sampaikan. Semoga Rapat Kerja hari ini memperoleh kesimpulan yang terbaik, sebagai ikhtiar kita untuk mengoptimalkan peran sebagai wakil rakyat sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. Semoga Allah SWT meridhoi dan mencatat ikhtiar kita bersama dalam Rapat Kerja ini sebagai bagian dari amal terbaik kita untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia tercinta.

Atas perhatian Pimpinan dan Anggota Komisi II DPR-RI, para Menteri serta hadirin sekalian kami ucapkan terima kasih.

 

Billahi taufiq wal hidayah

Wallahul muwafiq ila aqwamith thariq

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.      

 

 

Jakarta, 30 Muharram 1439 H

20 Oktober 2017 M

 

 

PIMPINAN

FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 

 

 

  

Ketua,

 

 

 

 

DR. H. Jazuli Juwaini, MA.

A-117

Sekretaris,

 

 

 

 

H.  S u k a m t a, Ph. D.

A-113

 

File:

FINAL_PANDANGAN AKHIR FRAKSI PKS PERPU NO 2 THN 2017 TTG ORMAS_RAPAT KOMISI 2 20102017