Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Ini Enam Catatan Evaluasi Kinerja Jokowi-JK Bidang Politik, Hukum dan Keamanan

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Almuzzammil Yusuf (Foto: Budiman/ Humas Fraksi PKS DPR RI)

Jakarta (20/10) – Tepat dua tahun Pemerintahan Jokowi-JK pada 20 Oktober 2016, terdapat banyak hal yang perlu disoroti. Beberapa catatan tersebut di antaranya terkait persoalan kebijakan politik, hukum, dan keamanan (Polhukam) yang perlu dievaluasi.

Hal itu sebagaimana disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI Almuzzammil Yusuf dalam menanggapi dua tahun pemerintahan Jokowi-JK sebagai bagian untuk memberi saran konstruktif.

“Pertama, Pemerintahan Jokowi-JK telah mengintervensi terlalu jauh urusan internal partai politik yang bersebrangan dengan pemerintah. Padahal dalam UU Partai Politik, Kementerian Hukum dan HAM hanya menjalankan keputusan pengadilan dengan menjalankan prosedur administrasi pengesahan partai politik,” jelas Almuzzammil di Jakarta, Kamis (20/10).

Almuzzammil menilai kasus konflik pergantian kepemimpinan di Golkar dan PPP adalah tragedi politik di era Pemerintahan Jokowi-JK yang mengancam iklim demokrasi di Indonesia. Dalam kasus ini, Komisi II menyarankan agar Pemerintahan Jokowi-JK belajar dari Pemerintahan SBY yang lebih moderat dan proporsional dalam menangani konflik internal partai, meskipun bersebrangan dengan Pemerintah pada saat itu.

Kedua, pencabutan 3.143 peraturan daerah oleh Pemerintahan Jokowi-JK tanpa kajian yang komprehensif, transparansi, pelibatan publik, dan koordinasi yang baik dengan pemerintahan daerah. Pembatalan Perda tahun ini adalah yang terbanyak untuk kurun waktu satu tahun berjalan. Perda yang dibatalkan termasuk Perda pendidikan gratis seperti Perda Nomor 5 Tahun 2009 Kabupaten Sarolangun Jambi tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah Gratis serta Perda Nomor 5 Tahun 2014 Kabupaten Kayong Utara Kalimantan Barat tentang Pendidikan Gratis. Padahal sebelumnya Kemendagri mengatakan Perda yang dicabut hanya Perda investasi, retribusi, dan pajak.‎

“Dalam hal ini, Komisi II menilai Pemerintahan Jokowi-JK kurang menghargai Perda yang merupakan produk politik daerah yang memiliki konteks kearifan lokal. Jika tidak hati-hati, pencabutan perda besar-besaran ini mengancam otonomi masing-masing daerah dan merupakan wujud kegagalan Pemerintahan Jokowi-JK dalam melakukan supervisi, pembinaan, dan koordinasi dengan pemerintahan daerah. Saran kami kedepan, Pemerintahan Jokowi-JK harus lebih hati-hati, mengkaji secara komprehensif dan melibatkan publik, terutama akademisi/universitas dan LSM di daerah sebelum mencabut perda,” tegas Ketua Bidang Polhukam DPP PKS ini

Ketiga, Presiden Jokowi menggunakan hak prerogatif mengangkat pejabat negara secara tidak cermat dan inkonsisten. Publik mempertanyakan pengangkatan menteri ESDM yang memiliki kewarganegaraan ganda, pemilihan Jaksa Agung dari unsur partai, dan masuknya menteri dari anggota koalisi baru pemerintahan.

“Saran kami, ke depan Pemerintahan Jokowi-JK seharusnya konsisten memilih pejabat negara yang dibutuhkan masyarakat, berintegritas, berkompeten, dan tidak memiliki konflik kepentingan. Hal ini penting untuk menjaga marwah pemerintahan dan NKRI,” tegas wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Lampung ini.

Keempat, Presiden Jokowi telah bersikap pasif terhadap perbuatan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI yang mengancam Pancasila, khususnya sila Ketuhananan yang Maha Esa dan Persatuan Indonesia. Sikap diam dan pembiaran Presiden telah membangun interpretasi publik, terutama umat Islam bahwa Presiden melindungi arogansi dan perbuatan penistaan terhadap ayat suci Al Quran yang dilakukan oleh Gubernur DKI. Ada kesan Presiden telah mencontohkan kepada warga negara, “salah benar teman harus dibela dan dilindungi”

“Saran kami dengan sikap kenegarawanan, Presiden Jokowi seharusnya menyampaikan posisi sikap tegas sebagai Kepala Negara bahwa siapapun penista agama, pemecah persatuan bangsa harus diproses secara hukum meskipun dalam proses pemilihan kepala daerah. Kami berharap Presiden lebih aktif dan secara terbuka meminta Kapolri untuk memproses secara hukum karena negara kita adalah negara hukum. Pasifnya Presiden dalam kasus ini bernilai negatif bagi publik, terutama umat Islam. Sikap tegas dan keberpihakan Presiden terhadap kebenaran dan hukum ini sangat penting untuk menjaga keutuan bangsa Indonesia,” papar Almuzzammil.

Kelima, paket kebijakan hukum Pemerintahan Jokowi harus segera disusun dan dilaksanakan karena indeks rule of law Indonesia peringkat 52 dan indeks persepsi korupsi pada urutan 88. Kami mempertanyakan realisasi Nawacita Presiden Jokowi No.4 yang menyebutkan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.

“Menurut kami ada 5 (lima) hal penting yang harus diperhatikan dalam paket kebijakan hukum Pemerintahan Jokowi-JK diantaranya adalah : (1) adanya konsistensi dan kepastian hukum bagi semua, (2) aparat penegak hukum yang bersih dan profesional, (3) tidak adanya intervensi terhadap penegakan hukum, (4) adanya peningkatan pelayanan publik, dan (5) adanya keteladan pejabat publik dalam melaksanakan putusan hukum. Jika ini tidak diperhatikan maka jangan berharap akan terjadi perbaikan budaya hukum di Indonesia,” pesan Almuzzammil.

Keenam, Pemerintahan Jokowi-JK telah mengancam independensi dan kebebasan pers dengan memblokir beberapa media online Islam tanpa ketelitian, klarifikasi, dan transparansi. Diantaranya arrahmah.com, hidayatullah.com, dakwatuna.com, eramuslim.com, kiblat.net dan media online Islam lainnya. Cara-cara seperti ini mengingatkan kita kembali ke rezim Orde Baru yang refresif dan otoriter.

“Seharusnya Pemerintah memberikan peringatan dan mengundang para pengelola website dan berdialog sebelum diblokir. Tidak serta merta merekomendasikan pemblokiran tanpa tolok ukur yang jelas. Selain itu perlu melibatkan para ahli, tokoh agama, ormas Islam serta MUI untuk mengetahui apakah konten dalam website itu menyimpang atau tidak dalam ajaran Islam. Jangan sampai, media yang menyampaikan ayat alquran dan sunah, mengecam kebiadaban Israel dan Barat dianggap radikal. Jika demikian, kedepan eksistensi media informasi dan pendidikan Islam terancam rezim Pemerintahan Jokowi yang menggunakan pasal karet untuk mengebiri umat Islam,” tegas Almuzzammil.

Terakhir, Almuzzammil menegaskan 6 (enam) catatan di atas adalah bentuk sikap Fraksi PKS sebagai oposisi loyal, di luar Pemerintahan.

“Semoga bermanfaat untuk perbaikan politik, hukum, dan keamanan Indonesia di masa yang akan datang,” tutup Almuzzammil.