
RMOL. Sistem pengawasan produksi dan distribusi obat dan makanan seluruh Indonesia harus diperkuat.
Salah satunya dengan menambah jumlah tenaga pengawas dan penyidik di seluruh Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (POM) semua provinsi.
Hal itu dikatakan Anggota Komisi IX DPR RI, Ahmad Zainuddin, berdasar pengalamannya saat kunjungan kerja ke Sumatera Utara, Rabu lalu. Zainuddin mengaku terkejut dengan fakta dan data komposisi tenaga pengawas dan penyidik yang tidak proporsional dengan jumlah objek sarana yang diawasi.
“Di Balai Besar POM Sumut hanya ada 15 tenaga pengawas, 10 tenaga penyidik. Seluruh Indonesia ada 520 tenaga pengawas dan penyidik. Seharusnya lebih dari itu,” ujar Zainuddin.
Padahal dalam data yang dikutip dari situs resmi BPOM, tenaga pemeriksa dan penyidik Balai Besar POM Sumut berjumlah 45 orang.
“Tapi yang lainnya sudah pensiun dan mutasi. Kekosongan ini harus segera diisi,” pintanya.
Sementara itu, total sarana yang harus diawasi di Sumut mencapai 5.811 sarana mencakup rumah sakit, industri Farmasi, industri obat tradisional, industri kosmetika, industri pangan, toko obat, hingga puskesmas, rumah bersalin dan Balai Pengobatan.
Menurut politisi PKS ini, jika jumlah balai dan balai besar POM di seluruh Indonesia berjumlah 33 unit, maka rata-rata setiap balai dan balai besar hanya terdapat 15 orang tenaga pengawas dan penyidik. Padahal, di satu provinsi saja, objek sarana yang harus diawasi BPOM mencapai ribuan.
“Ini sangat timpang. BPOM harus mengajukan penambahan tenaga pengawas dan penyidiknya kalau ingin memperkuat sistem pengawasan. Wajar saja jika kasus vaksin palsu baru terungkap setelah 13 tahun,” jelasnya.
Zainuddin menyatakan, kasus obat dan vaksin palsu akan terus bermunculan selama ketimpangan tersebut tidak cepat diatasi .
“Tahun 2015 di Sumut ditemukan serum palsu yang didistribusi ke beberapa RS di Sumut. Produksi serum tersebut dari provinsi lain. Ini akibat lemahnya pengawasan,” ungkapnya.
LAPORAN: ALDI GULTOM
Sumber: Rmol.co