Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Penjelasan FPKS DPR RI terhadap RUU Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS Iskan Qolba Lubis (foto: Budiman/ Humas Fraksi PKS)

Penjelasan FPKS DPR RI terhadap RUU Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

=============================================================

Alasan FPKS menyatakan tidak menyatakan pendapat pada pembahasan tingkat I terkait dengan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu:

Pertama, mengacu pada ketentuan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22 ayat (2) bahwasanya “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.”Sementara, Pemerintah menetapkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 pada tanggal 25 Mei 2016 dan mengajukan kepada DPR RI pada tanggal 30 Mei 2016 dalam Masa Persidangan V (17 Mei – 28 Juli 2016). Dengan demikian, seharusnya Perppu baru bisa diajukan pada masa persidangan VI tahun 2016/2017 yang dimulai pada tanggal 16 Agusttus 2017.

Kedua, FPKS berpendapat bahwa hukuman kebiri kimia di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak merupakan cara-cara kekerasan oleh negara dalam menghukum korban. Cara-cara kekerasan telah banyak ditinggalkan oleh negara dalam memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan. Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1998. Selain itu, hukuman kebiri kimia masih dipertanyakan keefektifannya untuk menekan atau menghilangkan hasrat seksual seseorang, apalagi pelaku kekerasan seksual pada anak sebagian besar memiliki kelainan seksual atau pedofilia. Dalam pelaksanaannya pun, akan mengalami kesulitan dikarenakan Ikatan Dokter Indonesia telah menyatakan tidak berkenan terlibat, dikarenakan bertentangan dengan kode etik kedokteran. FPKS berpendapat hukuman mati, pidana penjara seumur hidup ataupun pemberatan pidana penjara lebih sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan pelaksanaannya akan lebih mudah dilakukan.

Ketiga, FPKS berpendapat bahwa efektifitas pemasangan alat pendeteksi elektronik terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak masih membutuhkan pengkajian lebih lanjut. Hal ini mengingat biaya pengadaan alat deteksi dan pengawasan tidak murah serta teknis pelaksanaan yang tidak mudah. FPKS menilai langkah ini akan sulit direalisasikan.

Keempat, dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tidak mencantumkan tindak kejahatan terhadap anak yang berupa tindakan kekerasan seksual. Padahal, anak sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual. Oleh sebab itu, tindakan kekerasan seksual terhadap anak harus juga diberi sanksi pidana. Kehadiran Perppu ini masih tetap menimbulkan kekosongan hukum dalam upaya melindungi anak dari kekerasan, khususnya kekerasan seksual.

Kelima, dalam Pasal 81 ayat (5) Perppu Nomor 1 Tahun 2016 disebutkan dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Rumusan ketentuan tentang penyakit menular dan terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi pada diri korban kekerasan seksual pada anak, pada Perppu Nomor 1 Tahun 2016 ini tidak jelas. Sehingga, dalam pelaksanaannya menjadi akan sangat sulit.

Keenam, salah satu latar belakang dikeluarkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2016 adalah bahwa sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum meberikan efek jera dan belum mampu mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, sehingga perlu segera mengubah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. FPKS berpendapat bahwa untuk menekan angka kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual, bukan semata-mata dengan menaikkan ancaman pidana, tetapi rendahnya sensitivitas dan kemampuan penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual. Selain itu, faktor pemicu terjadinya kekerasan terhadap anak, antara lain minuman beralkohol dan pornografi, harus dihapuskan.