
Menjadi politisi, pejabat publik baik di eksekutif maupun legislatif adalah posisi yang terhormat (noble). Namun kehormatan itu harus dipahami berbanding lurus dengan etika dan tanggung jawab kepada publik. Oleh karena itu kita membiasakan menyebut para politisi sebagai pejuang politik karena tujuan mulia yang diemban para politisi yaitu memperjuangkan kemaslahatan umum (bangsa dan negara).
Pertama, sebagai politisi dan partai politik, pasti harapannya ingin menang, berkuasa dan memimpin pemerintahan baik di level pusat maupun daerah. Namun apa tujuan politisi menang dan akhirnya berkuasa atau memerintah negara. Tentu kita semua berharap menang bukan sembarang menang, tapi menang untuk menebarkan kebaikan bagi negeri ini. Untuk memberikan kontribusi terbaik bagi rakyat, bangsa, dan negara. Agar Indonesia maju dan sejahtera. NKRI jaya dalam percaturan bangsa-bangsa. Sama sekali bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok kita.
Maka bagi setiap politisi, jangan ada pikiran untuk merusak bangsa dan negara ini, tidak boleh ada pikiran untuk melemahkan bangsa ini dengan seluruh karakter dan kebaikan yang melekat padanya. Apalagi politisi partai Islam yang terus berjuang untuk membangun senyawa antara keislaman dan keindonesiaan, antara keimanan dan nasionalisme, sebagaimana para ulama dan tokoh bangsa telah menyontohkan di masa lalu. Kita ingin menampilkan wajah islam yang rahmatan lil alamin, islam yang penuh kedamaian, toleransi, dan semangat persatuan. Islam yang moderat atau wasathiyah, islam yang solitif, berkarakter dan berkemajuan. Dalam konteks tersebut para pejuang politik hadir untuk menjaga dan menyemarakkan ke-indonesia-an bukan dengan menghormati dan memajukan budaya bangsa.
Kedua, perlu kita pahami dan pahamkan berulangkali bahwa Indonesia tanah air kita ini bangsa yang sangat besar, beragam budaya, suku bangsa, dan agama. Kita kaya dengan sumber daya manusia, kaya sumber daya alam, jutaan keanekaragaman hayati (flora dan fauna) ada di sini. Kita kaya sumber daya mineral yang valuasinya bisa ratusan, ribuan bahkan jutaan triliun, dan seterusnya. Kita punya seluruh potensi menjadi bangsa besar. Sayangnya semua potensi itu belum menjadi aktual. Maka jangan pernah ada pikiran untuk mengecilkan bangsa ini. Kita ingat betul pesan Bung Hatta, proklamator kita, jangan sampai bangsa yang besar ini bertemu dengan manusia-manusia kerdil. Para pejabat publik haruslah manusia-manusia dengan jiwa besar yang punya pemikiran besar untuk memajukan bangsa ini.
Ketiga, selain memahami kebesaran bangsa dan negara Indonesia, kita harus memahami akar permasalahan bangsa dan solusinya agar kita bisa maju. Untuk itu kita harus menyelami denyut nadi masyarakat kita, bergaul dan berinteraksi dengan mereka, membersamai mereka dalam segala keadaaannya. Masyarakat itu sifat dan karakternya macam-macam. Ada yang baik, ada yang beringas, ada yang banyak tingkah, dan seterusnya. Pejabat publik harus hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai pemimpin mereka. Dalam konteks tersebut, pemimpin bangsa ini dalam level apapun semestinya memposisikan diri sebagai seorang ayah, dan memperlakukan rakyatnya yang beragam sifat dan karakter itu sebagai anak-anaknya. Maka seorang ayah akan sayang dan berlaku adil kepada anak-anaknya, dan adil itu tidak harus sama rata tapi disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anaknya.
Kita melihat akar masalah bangsa ini belum sepenuhnya bisa bersatu, bekerjasama, dan berkolaborasi secara tulus untuk membesarkan bangsa kita. Di sana-sini masih ada kepentingan pribadi dan golongan yang lebih ditonjolkan, masih kuat ego pribadi dan ego sektoral yang dipertontonkan, sengkarut kepentingan oligarki yang merusak demokrasi dan sendi-sendi kebangsaan. Dalam kondisi demikian, PKS berharap betul dan bekerja serius untuk memunculkan sosok pemimpin yang adil, tulus, profesional dan berintegritas.
Dengan pemahaman di atas seorang politisi apalagi pejabat publik harus pandai-pandai menempatkan diri ketika tampil di depan publik. Pertama, rakyat suka jika politisi dan pejabat publik itu tampil konsisten dan elegan dalam berpolitik. Tidak sibuk berpolemik, tapi selalu hadir dalam urusan-urusan publik. Hadir itu berarti memahami persoalan, mampu berkomunikasi dengan baik, melakukan edukasi dan membangunkan kesadaran publik, serta memberikan solusi yang jitu atas permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Kedua, publik juga suka politisi yang selalu memberikan semangat dan optimisme melalui sikap, pendapat, dan pandangannya. Tidak terseret arus pragmatisme dan oportunisme yang kerap dipertontonkan secara vulgar. Publik suka pejabat publik yang terbuka, humble dan tidak berjarak. Di sini kita semua berharap seluruh pejabat publik mampu menjadi teladan dan oase bagi rakyat dengan menghadirkan konsistensi dalam membela kepentingan rakyat. Konsistensi dalam melayani dan membantu rakyat. Serta konsistensi dalam menampilkan politik yang bermartabat sesuai koridor nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi UUD 1945.