
PPKM darurat kini berganti menjadi PPKM Level 4. Pedas dan Pahit seperti level sambal.
Tidak bisa dipungkiri, publik dipaksa mengingat dan mengenal aneka ragam singkatan atau akronim dalam proses penanganan covid 19 di Indonesia. Awalnya bernama PSBB, lalu bermertamorfosis menjadi PPKM. Maksud hati menghindari kewajiban karantina wilayah yang ditetapkan Undang-Undang, malah justru menunjukan penanganan pandemi semakin payah cenderung berkepanjangan.
Angka mortalitas yang terus naik dibarengi dengan jumlah pasien yang terpapar kini sudah menginjak angka 3 juta, tidak butuh waktu lama melonjak dari 1 juta kasus. Pada 23 Juli 2021, data Kemenkes menyebut kasus konfirmasi positif mencapai 3.082.410 dengan positive rate 24,25 persen. penyebaran virus Covid-19 hanya butuh waktu sekitar 32 hari dari 2 juta kasus pada 21 Juni 2021 hingga mencapai 3 juta kasus pada hari ini. Dari angka-angka tersebut merasa cukup dibalut ucapan maaf.
PPKM diterapkan dengan setengah hati, namun disampaikan berlenggak-lenggok bagai setengah dewa. Menantang semua pihak yang menganggap kebijakan PPKM belum maksimal dengan sikap dan hardikan bahwa semua terkendali serta baik-baik saja.
Hilang nyawa berguguran setiap hari, masih dianggap sebagai angka dan data. Padahal sejatinya yang hilang merupakan rentetan kehidupan dan tentang sejarah peradaban manusia; karena yang hilang dari banyak keluarga hari ini yakni seorang ayah, ibu, kakek, nenek, anak dan saudara juga kerabat. Bukan angka atau sekedar kurva. Ini nyawa yang hilang dari raga.
Ironisnya di saat krisis wabah yang sedang terjadi di Indonesia, sejumlah menteri dan pejabat negara berlenggang kangkung pergi ke luar negeri dengan beragam macam alasan dan rupa. Raut muka senang, rakyat susah payah.
Jika pun di dalam negeri ada pejabat, sebagian sibuk menonton drama sinetron yang tak kunjung habis judul dan ceritanya. Pandangannya justru digunakan untuk menerka akhir episode dari drama tersebut. Padahal akan lebih baik jika dilakukan untuk menyelesaikan persoalan wabah, tentu akan sangat berharga waktu-waktu yang dilewati di masa pembatasan ini.
Pejabat negara harus mampu menjalankan kewenangan sebagaimana mereka memanfaatkannya. Ada banyak fasilitas yang melekat darinya namun lebih besar lagi tanggung jawabnya.
Para pejabat negara harus ada di depan dan memastikan bahwa seluruh proses yang dilakukan untuk menangani wabah ini berjalan dengan efektif, efisien dan minim resiko. Bukan sekedar berleha-leha di rumah menghabiskan waktu menonton sesuatu yang tiada pernah ada dalam realita.
Para pejabat juga harus sensitif dengan kegelisahan publik, karena hari ini masyarakat ada di titik lunglai. Masyarakat tidak punya kuasa, tidak berdaya, bahkan saat ini tidak bisa kemana-mana. Ironisnya lagi seluruh aktivitas tersebut tanpa pernah diberikan kompensasi oleh negara.
Jikapun kemudian kompensasi keluar maka jumlahnya tidak sesuai dan datangnya sangat terlambat. Jikapun bansos terbagi ke publik disertai dengan arahan emosional; anggaran negara terbatas.
Padahal ada hak, pun kewajiban. Karena dari setiap keduanya akan memberikan dampak. Hanya kehendak baik yang akan menentukan, bukan sekedar alasan apalagi keluh kesah.
End.