Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Anggota Baleg FPKS: RUU IKN Bukan Prioritas untuk Dibahas

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

 

Jakarta (06/10) — Anggota Badan Legislasi dari Fraksi PKS Bukhori Yusuf memandang pembahasan RUU Ibu Kota Negara (IKN) bukan hal yang mendesak untuk dibicarakan saat ini.

Tanggapan Bukhori merespons Surat Presiden (surpres) terkait RUU IKN yang telah diterima oleh pimpinan DPR pada 29 September 2021 silam.

“Kami memandang belum saatnya memaksakan diri membahas RUU IKN mengingat prioritas kita sekarang adalah pemulihan ekonomi,” tegas Bukhori.

Anggota Komisi VIII DPR ini membeberkan terkait empat isu krusial yang berdampak langsung pada masyarakat, dimana keempat hal ini seharusnya menjadi prioritas pemerintah untuk dituntaskan. Empat persoalan tersebut antara lain: pengangguran, penyediaan lapangan kerja, ekonomi, dan penegakan hukum.

“Pertama, catatan Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2021 menyebutkan pandemi Covid-19 membuat angka pengangguran semakin meningkat. Peningkatan pengangguran terbesar terjadi pada kelompok masyarakat yang berusia 20-29 tahun,” ungkapnya.

Secara rinci, imbuh Bukhori, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami peningkatan sebesar 3,36 persen dibandingkan tahun lalu yang sebelumnya berada di angka 14,3 persen pada penduduk usia 20-24 tahun. Sementara, kenaikan TPT terbesar kedua terjadi pada penduduk usia 25-29 tahun, yakni meningkat 2,26 persen dibandingkan tahun 2020, yakni sebesar 7 persen.

“Kedua, masih merujuk pada data yang sama, Bukhori menyebut angka pengangguran terbuka lulusan universitas mencapai 999.543 atau hampir satu juta jiwa. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya, yakni sebanyak 824.912 jiwa,” terangnya.

Sementara, lulusan SMA masih bertahan sebagai penyumbang angka pengangguran terbesar, yakni 2,3 juta jiwa.

“Data ini menyingkap fakta bahwa mereka yang berhasil menamatkan pendidikan SLTA, bahkan kuliah tidak serta merta terjamin dalam memperoleh pekerjaan. Padahal, pemerintah semestinya bisa menjamin penyediaan lapangan kerja yang masif agar sumberdaya terdidik kita bisa diberdayakan secara optimal demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Dan perlu digarisbawahi, penyediaan lapangan kerja ini harus diprioritaskan bagi warga pribumi, bukan untuk tenaga kerja asing,” sindirnya.

Ketiga, persoalan ekonomi. Kami memahami bahwa pandemi telah berdampak sangat keras bagi sektor ekonomi, khususnya pada aspek penerimaan negara. Hal ini yang ditengarai sebagai alasan pemerintah untuk membentuk regulasi baru soal perpajakan melalui RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) demi mengerek pendapatan negara dari pajak.

Namun demikian, PKS bersikap menolak RUU ini lantaran berpotensi menimbulkan ketidakadilan ekonomi bagi masyarakat.

“RUU ini berpotensi memberatkan rakyat kecil lantaran tarif PPN dirancang agar naik, serta kebutuhan pokok seperti sembako dan jasa pelayanan publik lainnya bisa dikenakan pajak sewaktu-waktu. Namun mirisnya, para konglomerat pengemplang pajak justru akan diampuni melalui Tax Amnesty sebagaimana diatur dalam RUU ini,” kritik Bukhori.

Keempat, soal penegakan hukum. Kami menyesalkan vonis bengkok yang dijatuhkan majelis hakim tipikor bagi terdakwa korupsi bansos, eks Mensos Juliari, maupun terdakwa kasus suap, eks Jaksa Pinangki karena sulit diterima akal sehat. Nahasnya, tidak hanya majelis hakim yang bermasalah, putusan jaksa yang enggan mengajukan tuntutan maksimal bagi kedua koruptor tersebut juga patut dipersoalkan.

“Kedua preseden ini cukuplah menjadi bukti yang menunjukan coreng pada wajah sistem hukum di Indonesia. Hingga kini, kami masih menagih komitmen pemerintah untuk menegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat,” ucapnya.

Keempat persoalan di atas, demikian Bukhori melanjutkan, telah mengundang atensi serius dari masyarakat dan sangat dinanti penyelesaiannya. Sehingga, sebuah undang-undang diharapkan dapat memberikan solusi terhadap, minimalnya, keempat isu utama tersebut.

“Lantas, apakah solusinya dengan RUU IKN?”

Di sisi lain, legislator dapil Jawa Tengah 1 ini menjelaskan, pemindahan ibu kota bukan sekadar memindahkan bangunan fisik, melainkan juga sistem. Menurutnya, pemindahan sistem ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar lantaran berkorelasi dengan budaya, sikap, infrastruktur, dan suprastruktur.

“Pemerintah perlu mengedepankan akal sehat dan kebijaksanaan terkait pemindahan ibu kota negara. Sah-sah saja pemindahan ibu kota dilakukan sepanjang mempertimbangkan momentum yang tepat. Namun pertanyaannya, apakah itu menjadi prioritas kita, khususnya saat negara sedang mengalami kontraksi ekonomi akibat pandemi?” pungkasnya.