
Jakarta (06/10) — Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, mendesak Pemerintah agar segera melakukan moratorium pembangunan pembangkit listrik untuk keperluan pemakaian sendiri atau yang disebut (captive power).
Hal ini menyusul keterangan Menteri BUMN Erick Thohir yang mengirimkan surat kepada Menteri ESDM Arifin Tasrif dan Kepala BKPM untuk membantu kinerja operasional dan keuangan PLN.
Salah satu caranya, dengan membatasi pemberian izin usaha penyediaan listrik dan captive power. Captive power merupakan kondisi dimana sebuah perusahaan diizinkan mengelola dan menyediakan sumber pasokan listrik sendiri, di luar pasokan dari PLN.
“Kalau pembangunan pembangkit listrik untuk keperluan sendiri ini masih terbuka, maka kelebihan pasokan listrik PLN ini tidak akan cepat terserap. Kita harus jujur bahwa kondisi kelistrikan PLN, khususnya pulau Jawa, tengah kelebihan pasokan. Kalau kondisi ini tidak disikapi dengan cepat akan memberatkan PLN. Apalagi di tengah kondisi keuangan PLN yang masih tertekan utang, yang menurut pengakuan dirutnya mencapai angka Rp. 500 triliun,” jelas Mulyanto.
Menurut Mulyanto, dengan sistem kontrak pembelian listrik dari Independent Power Producer (IPP) atau pembangkit listrik swasta berlaku klausul TOP (take or pay), dimana memakai atau tidak, listrik yang mengalir harus dibayar PLN.
Kemudian, bila kelebihan pasokan ini semakin lebar, maka biaya yang harus dibayar PLN semakin tinggi. Kalau ini terus berlangsung, maka akan mendongkrak tarif listrik untuk masyarakat. dan ini akan merugikan banyak orang.
Selain itu, lanjut Wakil Ketua FPKS DPR RI ini, dengan adanya pembangkitkan listrik untuk pemakaian sendiri ini, menyebabkan potensi pemasukan PLN jadi berkurang.
“Di tengah pandemi Covid-19, permintaan listrik industri yang sebelumnya sudah turun semakin anjlok, sementara pelaksanaan proyek pembangunan pembangkit listrik 35.000 MWe tetap berlangsung. Karena itu, keseimbangan supply dan demand listrik ini harus diatur, bila tidak surplus listrik ini akan semakin lebar,” imbuh Mulyanto.
Untuk itu, memang sudah seharusnya Pemerintah bersinergi untuk membangun sektor kelistrikan ini. Berbagai upaya harus diambil secara sinergis antar berbagai kementerian terkait, agar terjadi penguatan dalam layanan di sektor kelistrikan termasuk penguatan kelembagaan BUMN kelistrikan, yakni PLN.
“Ujung-ujungnya kan untuk meningkatkan pelayanan pemerintah di sektor kelistrikan kepada masyarakat,” tegas Mulyanto.
Namun, Mulyanto meminta agar PLN sendiri harus meningkatkan kinerja dan efisiensi pelayanannya. Jangan sampai ketika lembaga atau badan usaha menggantungkan kebutuhan listriknya pada PLN, ternyata keandalan listrik PLN lemah, sering “byar pet” atau harga listrik cenderung naik.
“Ini akhirnya merugikan mereka,” ucap Mulyanto.
Sebenarnya, dalam UU No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan sudah diatur ketentuan mengenai usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.
Bahkan dikuatkan dalam RUU Cipta Kerja, bahwa hal itu dapat dilakukan baik oleh instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, badan usaha swasta, koperasi, perseorangan dan lembaga/badan usaha lainnya selama hanya untuk pemakaian sendiri. Serta dalam usaha penyediaan tenaga listrik tersebut wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.
Menurut PLN, saat ini kapasitas captive power mencapai lebih dari 2.000 mega watt (MW). Jika sebesar 75% dari total kapasitas captive power tersebut dibatasi dan dialihkan ke PLN atau sekitar 1.500 MW dengan capacity factor sebesar 50%, maka menurutnya ini akan meningkatkan penjualan listrik sebesar 6,57 tera watt hour (TWh) dalam kurun waktu satu tahun.
Lebih lanjut, PLN mengatakan bahwa penjualan listrik PLN dalam satu tahun rata-rata sebesar 240 TWh. Ini berarti, jika penjualan naik sebesar 6,57 TWh, maka akan ada kenaikan penjualan listrik sebesar 2,7%-3% dalam setahun.
“Artinya dengan pengambilalihan captive power ini, akan meningkatkan kemampuan jual listrik PLN, dan makin membuatnya efisien”, tegas mantan Irjen Kementerian Pertanian ini.