Logo Fraksi PKS

Website Resmi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Fraksi PKS Kreatif, Atraktif, Substantif

Klarifikasi Menag Atas Pembatalan Haji, Aleg PKS: Bukti Menteri Agama Gagal Paham

 

Facebook Twitter WhatsApp Telegram

 

Jakarta (10/06) — Menanggapi klarifikasi yang disampaikan oleh Menteri Agama soal pembatalan haji tahun 2020, Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf, menganggap bahwa Menteri Agama gagal paham.

Menurut Bukhori, terdapat banyak kekeliruan dari empat poin penting klarifikasi Menteri Agama yang perlu diluruskan soal keputusannya membatalkan haji.

“Poin pertama, terkait keputusan pembatalan haji oleh Kemenag bukan atas perintah Presiden Jokowi tetapi setelah koordinasi dengan Kemenkum HAM”, paparnya.

Bukhori menganggap apa yang disampaikan oleh Menteri Agama bertentangan dengan berita yang beredar di media. Selain itu, Menag juga dinilai menyalahi wewenang dan merendahkan jabatan Presiden.

“Secara yuridis, pembatalan dan pemberangkatan haji seharusnya dilakukan berdasarkan kesepakatan antara DPR RI dengan Pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama. Sebab, hal ini sudah diatur di Pasal 36 dan 47 UU No. 8/2019. Jadi, bukan dengan pihak luar (red: Kemenkum HAM)” ungkap Bukhori di Jakarta, Rabu (10/06).

Menurutnya, langkah meminta pendapat hukum ke Kemenkum HAM juga tidak tepat dan benar dikarenakan tugas Kemenkum HAM adalah menerima harmonisasi dan sinkronisasi Peraturan di bawah UU, termasuk Keputusan Menteri.

“Apakah Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 494 tahun 2020 sebelum diterbitkan sudah diharmonisasi oleh Kemenkum HAM?” cetusnya.

Poin kedua, lanjutnya, terkait langkah Menteri Agama bersurat kepada Pemerintah Arab Saudi untuk meminta agar tidak menerbitkan visa undangan (mujamalah) atau visa mandiri (furada).

Bukhori menilai langkah tersebut tidak lazim dan seolah ikut campur terhadap urusan negara lain. Ia memandang bahwa kebijakan penerbitan visa adalah kewenangan Pemerintah Arab Saudi sehingga Pemerintah Indonesia tidak bisa bertindak sesuai kehendaknya.

“Jika mengacu pada UU No. 8/2019 Pasal 82 ayat (2) huruf (e) disebutkan bahwa Jemaah haji yang menggunakan visa haji mujamalah undangan Pemerintah Arab Saudi cukup melaporkan penyelenggaraan ibadah haji khusus kepada Menteri. Tidak perlu kemudian Pemerintah Indonesia sampai bersurat ke Pemerintah Arab Saudi. Silakan dibaca kembali undang-undangnya” tegasnya

Poin ketiga, terkait dengan dana haji yang diklaim aman dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Bukhori mencermati bahwa dengan terbitnya KMA No. 494 Tahun 2020 justru secara substansi melampaui kewenangan Kementerian Agama.

Pertama, di dalam KMA diatur kewenangan BPKH dan merubah mekanisme pengadaaan barang dan jasa yang jelas sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait pengadaan barang dan jasa seperti pelayanan konsumsi, transportasi, dan petugas haji. Intinya KMA 494 tahun 2020 terasa seperti Perppu, tukas Bukhori.

Poin keempat, terkait bantahan Menteri Agama terhadap pihak yang menilai keputusannya membatalkan haji dilakukan terburu-buru. Bukhori justru memandang sanggahan Menteri Agama tersebut semakin memperkuat indikasi bahwa pemerintah gagal paham terkait prosedur pemberangkatan dan pembatalan jemaah haji yang sudah diatur oleh undang-undang.

“Keputusan pemberangkatan atau pembatalan keberangkatan jemaah haji itu harus sesuai Undang-undang. Dalam proses pemberangkatan jemaah haji itu harus ada kesepakatan antara Komisi VIII DPR RI dengan Pemerintah (red: Kemenag). Pertanyaannya adalah, apakah kesepakatan antara DPR RI dengan Kementerian Agama juga batal?” ungkap politisi PKS ini.

Sebagai simpulan, Bukhori menutup keterangannya dengan dua catatan penting terkait klarifikasi Menteri Agama tersebut.

Pertama, dalam Pasal 1 UUD 1945 disebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum sehingga konsekusensi logis dari ketentuan tersebut adalah seluruh penyelenggaraan kebijakan pemerintah harus didasarkan pada hukum.

Kedua, terkait keputusan pembatalan haji sebenarnya Menteri Agama perlu memperhatikan dua aspek krusial, yakni aspek materiel dan aspek formil. Kedua aspek ini harus diperhatikan sesuai dengan proporsinya. Artinya, sebelum Menteri Agama berbicara mengenai aspek materil, seharusnya perlu memastikan aspek formil telah dipenuhi dengan baik.

“Keputusan Menteri Agama membatalkan haji dengan melangkahi sejumlah peraturan perundang-undangan adalah preseden buruk yang kita harapkan tidak lagi terulang. Ke depan, Menag harus sepenuhnya tunduk pada UU No. 8 Tahun 2019” pungkasnya.